Monday 5 June 2017

CHAPTER 1: Mulai

“Kenapa?” aku rasa itu adalah tiupan peluit yang menjadi tanda bahwa hidupku yang sesungguhnya telah dimulai. “Kenapa?” adalah titik awal, titik nol, dan bahkan satu-satunya kata yang akan tersisa di titik nadirku adalah “Kenapa?”. Aku tidak mengerti dari mana asal muasalnya kata ini dan ke mana tujuannya. Mungkin kata “Kenapa?” ini mirip seperti air, bersirkulasi tanpa henti melalui kemajemukan ruang dan keabadian waktu, karena sesungguhnya hulu dan hilir hanya sebagian tempat persinggahan air, bukan asal dan tujuan. Membeku, memuai, meluap, mengering, mengalir, menggenang, dan meng-meng yang lainnya, namun tetap, wujud air itu tidak akan bisa hilang. Dan perihal air ini pun sebenarnya adalah spesimen-spesimen dari “Kenapa?”.


Banyak sekali orang-orang dari masa lampau hingga masa kini yang telah mencoba mengobrak-abrik sebuah kotak besar yang dianggap menyembunyikan apa sebenarnya “Kenapa?” ini. Mereka semua adalah para kaum karena, dengan keagungan empirisme dan logisme mereka mencoba menutup lubang “Kenapa?” ini dengan “Karena”. Dengan naiknya “Karena” ke permukaan maka kausalistik pun menjadi sebuah rezim yang sangat mendominasi sebagian besar harapan manusia akan penguasaan alam semesta beserta isinya. “Karena” menjelma menjadi sebuah senjata canggih yang mampu melenyapkan “Kenapa?” dengan hanya sekali tarikan pada tuasnya, meskipun kenapa itu ada jauh di dimensi kenapa yang dikenapakan.

Aku Bukan Seorang Eksistensialis

Ketika bersekolah, ada beberapa mata pelajaran yang tidak saya sukai. Mungkin bukan cuma saya karena setiap orang pasti memiliki determinasi terhadap hal-hal yang kita geluti. Tapi apa kita boleh untuk tidak menyertakan diri dalam hal-hal yang tidak kita sukai? Mungkin dalam beberapa aspek ya boleh-boleh saja, tapi dalam aspek pendidikan yang sudah duduk manis dalam sebuah kotak besar beralaskan kurikulum yang maha sistematis misalnya, saya rasa kita semua tahu jawabannya. Kenapa kita tidak selalu bisa melakukan apa yang kita inginkan?

Kita hidup dalam sebuah tatanan (tertata), sesuatu yang tertata berarti ada yang menatanya. Lalu siapa atau apa yang menatanya? Apakah pikiran?. Jika memang pikiran maka mungkin begini cara kerjanya, pikiran melakukan penataan atas dasar skeptikal yang berdialektika dalam diri dan berevolusi menjadi ide sebagai jawabannya, kemudian pikiran melakukan sebuah manifesto melalui tindakan penataan terhadap sesuatu yang dianggap tidak tertata.

Atau justru sebaliknya? tatanan yang mengkonstruksi pikiran kita?. Jika iya mungkin begini skemanya, tatanan dibalut oleh sistem nilai dan norma yang menjadi dasar dan pedoman atas tatanan itu sendiri, kemudian hal tersebut terinternalisasi ke dalam pikiran kita yang sejatinya menangkap hal-hal tersebut menjadi sebuah ideologi yang terkonstruksi dan menjadi batasan-batasan kita dalam menjalani hidup.


Jadi yang mana yang benar? Sebetulnya sangat sulit untuk menjawabnya karena hal ini persis dengan masalah ayam dan telur, mana lebih dulu?. Jadi apa kedua kesimpulan itu bisa saja terjadi? Bisa saja, karena sebenarnya apapun dan bagaimanapun memang seharusnya bisa dan mungkin untuk dilakukan. "Human is condemned to be free", tukas Jean-Paul Sartre.

#nomnomnom