Thursday 31 May 2018

NAMAMU ELAN, NAK.


Sudah jam 11 malam dan hanya lampu di rumah Anwar yang masih saja menyala. Suara kucing-kucing kampung yang tadinya sesekali terdengar ganas karena saling berebut makanan, kini lenyap diredam oleh suara perempuan yang cukup keras. “Yang kita butuh itu duit Bang, buat makan, buat biaya bersalin, buat beli kelambu sama keperluan lain. Bukan buah pikiran yang cuma jadi tumpukan kertas, bikin rumah makin sempit. Kurang cukup kamu melihat aku terlantar satu tahun gara-gara tulisanmu itu, apa kamu mau terlantarkan aku lagi?”, ucap Lastri sambil memegangi perutnya yang sudah sangat membesar.
Anwar duduk termangu di depan meja yang penuh dengan tumpukan kertas, tatapan matanya sangat kosong. “Aku tahu itu yang kamu sukai, tapi kan bukan cuma itu yang kamu bisa, apa salahnya kamu cari kerjaan lain Bang. Karena semenjak waktu itu, sudah tidak ada lagi satu pun penerbit yang mau bikin kertas-kertasmu itu jadi duit. Kamu juga pasti paham bagaimana gentingnya situasi sekarang Bang”, lanjut Lastri yang unek-unek di dalam kepalanya seakan tidak ada habisnya.
Tarikan nafas yang sangat dalam pun terdengar dari kedua lubang hidung Anwar, lalu dia bangun dari kursinya, “Aku keluar sebentar” ucap Anwar sambil berjalan ke luar rumah. “Mau bicara sama bintang-bintang? atau mau pinjam uang sama rembulan malam?” potong Lastri yang semakin kesal. “Aku mau cari angin” jawab Anwar yang terus berjalan ke luar tanpa menoleh sedikitpun pada Lastri. “Angin dicari, harus berapa kali aku bilang, yang kita butuh itu duit Bang, bukan angin”, sahut Lastri dengan intonasi yang semakin meninggi.
Malam semakin dingin, semakin sepi, tapi semakin ramai juga truk patroli tentara yang lalu-lalang di tengah kampung. Suara ban-ban besarnya terdengar sangat garang dan gagah melindasi kerikil-kerikil jalan yang berantakan. Ada sedikit rasa khawatir di hati Lastri yang sebenarnya belum bisa tidur karena kepalanya masih dihantui banyak pikiran, juga suaminya yang pergi keluar rumah di jam malam.
Lastri semakin gusar dan tidak karuan setelah 3 hari suaminya tak kunjung pulang. Sebagai perempuan yang sedang hamil besar, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mencari Anwar. Semua tetangga terdekatnya termasuk Mak Ijah, seorang janda yang suaminya gugur dalam perang beberapa belas tahun yang lalu, meminta Lastri untuk mengikhlaskan suaminya. Mereka semua yakin bahwa Anwar diangkut oleh truk patroli tentara karena keluyuran di jam malam.
“Tapi Mak, Bang Anwar itu bukan pemberontak, dia sama sekali tidak ada kaitannya sama urusan politik. Semua tulisannya itu cuma tulisan fiksi. Kalaupun dulu dia pernah dibui gara-gara cerita novelnya tapi itu karena dulu tulisannya dipublish”, isak tangis membuat Lastri terbata-bata dalam berbicara. Lastri menangis tersedu-sedu di pundak Mak Ijah sambil memegangi perutnya yang sudah menunggu hitungan hari untuk mengeluarkan jabang bayi.
Sepanjang hari Lastri lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk merenung di beranda rumah, menunggu Anwar pulang. Sebuah penantian dan harapan besar tergambar jelas di wajahnya yang semakin hari semakin pucat. Dulu Lastri memang pernah merasakan hal yang sama selama satu tahun lamanya, tapi kali ini Lastri harus merasakannya berdua bersama calon buah hatinya yang bahkan belum bisa kemana-mana.
Pada sebuah sore di hari ketujuh sejak perginya Anwar, datang lah 5 orang pria yang masih muda-muda dengan atribut angkatan bersenjata menyatroni Lastri. “Selamat sore, apa ini rumah Anwar Muzaid?”, tanya satu orang yang mukanya terlihat paling garang. Tergesa-gesa dan dengan perasaan yang sangat tidak karuan Lastri bangun dari kursinya, “iya betul, saya isterinya, di mana suami saya pak?”. “Masuk, geledah semuanya, bawa semua barang bukti yang ada di dalam!”, tegas memberi instruksi pada rekan-rekannya tanpa menjawab pertanyaan Lastri. “Pak suami saya di mana pak? Tolong pak anaknya sudah mau lahir, di mana suami saya pak?”, Lastri begitu histeris. “Diam kamu, kamu juga ikut”, bentak seorang yang mukanya paling garang itu.

Lastri yang perutnya sudah sangat besar pun dipaksa berjalan cepat melintasi lorong sel tahanan pria menuju sel tahanan wanita. “Lastri… Lastri…”, teriak seseorang dari dalam sebuah sel pria. Lastri pun menoleh dan kaget, “Bang Anwar…” sambil berusaha meraih tangan Anwar yang keluar melalui celah-celah jeruji besi. Namun petugas yang menuntun Lastri begitu tegap dan gagah sehingga Lastri pun dipaksa untuk terus berjalan melewati Anwar. “Elan, Lastri, namanya Elan…” sambil terus berteriak dan menangis Anwar menggoyah-goyahkankan jeruji besi sekuat tenaganya. Lastri yang sudah sangat berusaha menahan laju langkahnya pun terus diseret oleh petugas hingga jeritan dan tangisan histeris keduanya pun tak lagi padu, harus terpisah oleh tikungan lorong.

Tuesday 8 May 2018

Kim Ki-duk, Sutradara Film Korea Paling Ironis


Kim Ki-duk adalah seorang sutradara asal Korea Selatan dan mungkin adalah satu-satunya  sutradara Korea Selatan yang mampu meraih penghargaan dari 3 festival film terbesar dunia yaitu Venice, Cannes, dan Berlin. Luar biasa memang, namun siapa sangka jika ternyata Kim Ki-duk tidak mendapatkan apresiasi yang baik di negaranya sendiri. Pria kelahiran Fenghua 20 Desember 1960 ini pada awalnya adalah seorang pekerja pabrik biasa di Cheonggyecheon. Pada usia 20 tahun Kim juga pernah menjadi relawan di korps angkatan laut, setahun kemudian dia mendaftarkan diri di Asosiasi Seminar Teologi. Karena lebih tertarik dengan dunia seni lukis Kim memutuskan untuk pergi ke Perancis. Menjadi Flaneur di Perancis sekitar tahun 90 sampai 92 Kim bertahan hidup dengan menjadi seorang pelukis jalanan. Hingga akhirnya Kim tertarik untuk menjadi seorang  filmmaker dan kembali ke negaranya. Crocodile, menjadi film debutnya pada tahun 1996 yang kontroversial. Mulai dari kritikus film hingga kelompok feminis menyerang Kim karena menurut mereka film ini memberikan sajian kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan.
            Namun pada tahun 2000 dan 2001 film Kim Ki Duk (The Isle dan Adress Unknown) berturut-turut terpilih untuk Venice Film Festival. Kim mulai dikenal sebagai sutradara film asia kontemporer di mata film internasional. Pada tahun 2002 filmnya The Coast Guard menjadi film pembuka di Pusan International Award. Dua tahun kemudia Kim berhasil meraih Silver Lion untuk Best Director di 61th Venice Film Festival lewat film 3-iron. Di tahun yang sama Kim juga menyabet Silver Bear sebagai Sutradara Terbaik di 54th Berlin International Festival lewat film Samaritan Girl. Kesuksesan yang diraih Kim di kancah Internasional semakin membuatnya menjadi sutradara yang paling produktif hingga pada tahun 2008 Kim memutuskan untuk berhenti sejenak dan mengasingkan dirinya di pedesaan Gangwon-do. Kim berkontemplasi habis-habisan karena sebuah kecelakaan teknis yang hampir membuat aktrisnya (Lee Na-Young) meninggal dunia dalam adegan gantung diri dalam film Dream. Pada tahun 2011, Kim hadir kembali dengan film otobiografinya, Arirang, yang dia buat semasa pengasingan dirinya dan langsung meraih penghargaan di Cannes Film Festival dalam kategori Un Certain Regard Prize. Pada tahun berikutnya Kim juga meraih Golden Lion di 69th Cannes Film Festival 2012 lewat film Pieta.
            Tercatat hingga tahun 2017 Kim Ki-duk berhasil membuat 33 judul film. Ada benang merah yang bisa kita lihat dari berbagai film Kim, seperti tokoh yang tinggal di daerah yang terpinggirkan. Misalnya dalam film The Bow tokoh tinggal di sebuah perahu di lautan luas. Dalam Spring, Summer, Fall, Winter… and Spring tokoh tinggal di atas danau yang berada di tengah hutan., dan masih banyak lagi. Minimnya dialog juga menjadi ciri khas film-film Kim Ki-duk, seperti dalam film 3-iron dua tokoh utama diam seribu bahasa, tidak berbicara satu sama lain namun mampu menyampaikan sebuah keintiman hubungan pada penontonnya, begitu pula dalam film The Isle, Pieta, dan sebagainya. Kim juga tidak segan-segan untuk menampilkan adegan kekerasan dalam filmnya, misal adegan mengaitkan kail pancingan ke dalam tenggorokan juga vagina dalam film The Isle, atau adegan istri memotong penis suaminya dengan pisau dalam film Moebius. Adegan seksual yang gamblang juga kerap ditampilkan oleh Kim Ki-duk dalam film-filmnya. Mungkin kevulgaran semacam ini lah yang membuat Kim didiskreditkan di negaranya sendiri.
Kim berusaha menampakan dirinya menjadi seorang Outlier dalam skena sinema di Korea. Selain film-filmnya yang kontroversial, Kim juga tidak pernah sekolah film formal. Sering sekali film Kim dianggap mentah dalam segi estetika dan juga terlalu kejam untuk jalur komersial. Dalam buku sejarah sinema Korea yang berjudul Korean Film: History, Resistance, and Democratic Imagination yang disusun oleh Min, Jo dan Kwok pada tahun 2003, nama dan juga film-film Kim Ki-duk sama sekali tidak disentuh. Nama Kim Ki-duk juga kembali luput dalam buku Contemporary Cinema karangan Kyung Hyu Kim pada tahun 2004. Namun dalam koran New York Post, kritikus film V. A. Musetto menulis review untuk film Time Kim Ki-duk dan dia menulis pernyataan “Saya tidak tahu bahwa Kim lebih terkenal di New York ketimbang di Seoul”. Sewaktu Kim kesulitan mendanai filmnya, ia musti berterima kasih atas reputasinya di luar negeri dan juga produksi filmnya yang low-budget, sebab minimnya dukungan dari penonton domestik hanya tambah menyulitkannya. Kim memutuskan untuk tidak merilis filmnya Time (2006) di tanah airnya. Kim berkata terus terang dalam beberapa wawancara, “Jika kamu ingin menonton film ini, maka imporlah!”.

Sungguh ironis memang, prestasi gemilang yang diraih Kim Ki-duk bisa dibilang nihil apresiasi karena seakan tidak berarti apa-apa di tanah kelahirannya sendiri. Manusia seakan-akan sangat takut terhadap kejujuran, banyak orang-orang yang belum siap menerima kejujuran yang disampaikan melalui medium reflektor seperti film. Orang-orang masih terjebak oleh balutan estetika semu dalam media pemantul tersebut karena takut ilusi mereka dihancurkan oleh kejujuran, padahal film adalah sebuah cerminan realitas. Singkatnya adalah jika ingin film yang indah dan baik-baik saja maka buatlah dahulu realitas yang indah dan baik-baik saja. “I always ask myself one question: What is human? What does it mean to be human? Maybe people will consider my new films brutal again. But this violence is just a reflection of what they really are, of what is in each one of us to certain degree”, tukas Kim Ki-duk. (Ujang Suteja, Kamar Kecil Project)

Monday 5 June 2017

CHAPTER 1: Mulai

“Kenapa?” aku rasa itu adalah tiupan peluit yang menjadi tanda bahwa hidupku yang sesungguhnya telah dimulai. “Kenapa?” adalah titik awal, titik nol, dan bahkan satu-satunya kata yang akan tersisa di titik nadirku adalah “Kenapa?”. Aku tidak mengerti dari mana asal muasalnya kata ini dan ke mana tujuannya. Mungkin kata “Kenapa?” ini mirip seperti air, bersirkulasi tanpa henti melalui kemajemukan ruang dan keabadian waktu, karena sesungguhnya hulu dan hilir hanya sebagian tempat persinggahan air, bukan asal dan tujuan. Membeku, memuai, meluap, mengering, mengalir, menggenang, dan meng-meng yang lainnya, namun tetap, wujud air itu tidak akan bisa hilang. Dan perihal air ini pun sebenarnya adalah spesimen-spesimen dari “Kenapa?”.


Banyak sekali orang-orang dari masa lampau hingga masa kini yang telah mencoba mengobrak-abrik sebuah kotak besar yang dianggap menyembunyikan apa sebenarnya “Kenapa?” ini. Mereka semua adalah para kaum karena, dengan keagungan empirisme dan logisme mereka mencoba menutup lubang “Kenapa?” ini dengan “Karena”. Dengan naiknya “Karena” ke permukaan maka kausalistik pun menjadi sebuah rezim yang sangat mendominasi sebagian besar harapan manusia akan penguasaan alam semesta beserta isinya. “Karena” menjelma menjadi sebuah senjata canggih yang mampu melenyapkan “Kenapa?” dengan hanya sekali tarikan pada tuasnya, meskipun kenapa itu ada jauh di dimensi kenapa yang dikenapakan.

Aku Bukan Seorang Eksistensialis

Ketika bersekolah, ada beberapa mata pelajaran yang tidak saya sukai. Mungkin bukan cuma saya karena setiap orang pasti memiliki determinasi terhadap hal-hal yang kita geluti. Tapi apa kita boleh untuk tidak menyertakan diri dalam hal-hal yang tidak kita sukai? Mungkin dalam beberapa aspek ya boleh-boleh saja, tapi dalam aspek pendidikan yang sudah duduk manis dalam sebuah kotak besar beralaskan kurikulum yang maha sistematis misalnya, saya rasa kita semua tahu jawabannya. Kenapa kita tidak selalu bisa melakukan apa yang kita inginkan?

Kita hidup dalam sebuah tatanan (tertata), sesuatu yang tertata berarti ada yang menatanya. Lalu siapa atau apa yang menatanya? Apakah pikiran?. Jika memang pikiran maka mungkin begini cara kerjanya, pikiran melakukan penataan atas dasar skeptikal yang berdialektika dalam diri dan berevolusi menjadi ide sebagai jawabannya, kemudian pikiran melakukan sebuah manifesto melalui tindakan penataan terhadap sesuatu yang dianggap tidak tertata.

Atau justru sebaliknya? tatanan yang mengkonstruksi pikiran kita?. Jika iya mungkin begini skemanya, tatanan dibalut oleh sistem nilai dan norma yang menjadi dasar dan pedoman atas tatanan itu sendiri, kemudian hal tersebut terinternalisasi ke dalam pikiran kita yang sejatinya menangkap hal-hal tersebut menjadi sebuah ideologi yang terkonstruksi dan menjadi batasan-batasan kita dalam menjalani hidup.


Jadi yang mana yang benar? Sebetulnya sangat sulit untuk menjawabnya karena hal ini persis dengan masalah ayam dan telur, mana lebih dulu?. Jadi apa kedua kesimpulan itu bisa saja terjadi? Bisa saja, karena sebenarnya apapun dan bagaimanapun memang seharusnya bisa dan mungkin untuk dilakukan. "Human is condemned to be free", tukas Jean-Paul Sartre.

#nomnomnom