Monday, 5 June 2017

Aku Bukan Seorang Eksistensialis

Ketika bersekolah, ada beberapa mata pelajaran yang tidak saya sukai. Mungkin bukan cuma saya karena setiap orang pasti memiliki determinasi terhadap hal-hal yang kita geluti. Tapi apa kita boleh untuk tidak menyertakan diri dalam hal-hal yang tidak kita sukai? Mungkin dalam beberapa aspek ya boleh-boleh saja, tapi dalam aspek pendidikan yang sudah duduk manis dalam sebuah kotak besar beralaskan kurikulum yang maha sistematis misalnya, saya rasa kita semua tahu jawabannya. Kenapa kita tidak selalu bisa melakukan apa yang kita inginkan?

Kita hidup dalam sebuah tatanan (tertata), sesuatu yang tertata berarti ada yang menatanya. Lalu siapa atau apa yang menatanya? Apakah pikiran?. Jika memang pikiran maka mungkin begini cara kerjanya, pikiran melakukan penataan atas dasar skeptikal yang berdialektika dalam diri dan berevolusi menjadi ide sebagai jawabannya, kemudian pikiran melakukan sebuah manifesto melalui tindakan penataan terhadap sesuatu yang dianggap tidak tertata.

Atau justru sebaliknya? tatanan yang mengkonstruksi pikiran kita?. Jika iya mungkin begini skemanya, tatanan dibalut oleh sistem nilai dan norma yang menjadi dasar dan pedoman atas tatanan itu sendiri, kemudian hal tersebut terinternalisasi ke dalam pikiran kita yang sejatinya menangkap hal-hal tersebut menjadi sebuah ideologi yang terkonstruksi dan menjadi batasan-batasan kita dalam menjalani hidup.


Jadi yang mana yang benar? Sebetulnya sangat sulit untuk menjawabnya karena hal ini persis dengan masalah ayam dan telur, mana lebih dulu?. Jadi apa kedua kesimpulan itu bisa saja terjadi? Bisa saja, karena sebenarnya apapun dan bagaimanapun memang seharusnya bisa dan mungkin untuk dilakukan. "Human is condemned to be free", tukas Jean-Paul Sartre.

#nomnomnom

No comments:

Post a Comment