Ketika bersekolah, ada beberapa mata pelajaran
yang tidak saya sukai. Mungkin bukan cuma saya karena setiap orang pasti
memiliki determinasi terhadap hal-hal yang kita geluti. Tapi apa kita boleh
untuk tidak menyertakan diri dalam hal-hal yang tidak kita sukai? Mungkin dalam
beberapa aspek ya boleh-boleh saja, tapi dalam aspek pendidikan yang sudah duduk
manis dalam sebuah kotak besar beralaskan kurikulum yang maha sistematis misalnya, saya
rasa kita semua tahu jawabannya. Kenapa kita tidak selalu bisa melakukan apa
yang kita inginkan?
Kita hidup dalam sebuah tatanan (tertata),
sesuatu yang tertata berarti ada yang menatanya. Lalu siapa atau apa yang
menatanya? Apakah pikiran?. Jika memang pikiran maka mungkin begini cara
kerjanya, pikiran melakukan penataan atas dasar skeptikal yang berdialektika
dalam diri dan berevolusi menjadi ide sebagai jawabannya, kemudian pikiran
melakukan sebuah manifesto melalui tindakan penataan terhadap sesuatu yang
dianggap tidak tertata.
Atau justru sebaliknya? tatanan yang
mengkonstruksi pikiran kita?. Jika iya mungkin begini skemanya, tatanan dibalut
oleh sistem nilai dan norma yang menjadi dasar dan pedoman atas tatanan itu
sendiri, kemudian hal tersebut terinternalisasi ke dalam pikiran kita yang sejatinya
menangkap hal-hal tersebut menjadi sebuah ideologi yang terkonstruksi dan
menjadi batasan-batasan kita dalam menjalani hidup.
Jadi yang mana yang benar? Sebetulnya sangat
sulit untuk menjawabnya karena hal ini persis dengan masalah ayam dan telur,
mana lebih dulu?. Jadi apa kedua kesimpulan itu bisa saja terjadi? Bisa saja, karena
sebenarnya apapun dan bagaimanapun memang seharusnya bisa dan mungkin untuk
dilakukan. "Human is condemned to be free", tukas Jean-Paul Sartre.
#nomnomnom
#nomnomnom
No comments:
Post a Comment