“Kenapa?” aku rasa itu adalah tiupan peluit
yang menjadi tanda bahwa hidupku yang sesungguhnya telah dimulai. “Kenapa?”
adalah titik awal, titik nol, dan bahkan satu-satunya kata yang akan tersisa di
titik nadirku adalah “Kenapa?”. Aku tidak mengerti dari mana asal muasalnya kata
ini dan ke mana tujuannya. Mungkin kata “Kenapa?” ini mirip seperti air,
bersirkulasi tanpa henti melalui kemajemukan ruang dan keabadian waktu, karena
sesungguhnya hulu dan hilir hanya sebagian tempat persinggahan air, bukan asal
dan tujuan. Membeku, memuai, meluap, mengering, mengalir, menggenang, dan
meng-meng yang lainnya, namun tetap, wujud air itu tidak akan bisa hilang. Dan
perihal air ini pun sebenarnya adalah spesimen-spesimen dari “Kenapa?”.
Banyak sekali orang-orang dari masa lampau
hingga masa kini yang telah mencoba mengobrak-abrik sebuah kotak besar yang
dianggap menyembunyikan apa sebenarnya “Kenapa?” ini. Mereka semua adalah para kaum karena, dengan keagungan empirisme
dan logisme mereka mencoba menutup lubang “Kenapa?” ini dengan “Karena”. Dengan
naiknya “Karena” ke permukaan maka kausalistik pun menjadi sebuah rezim yang
sangat mendominasi sebagian besar harapan manusia akan penguasaan alam semesta
beserta isinya. “Karena” menjelma menjadi sebuah senjata canggih yang mampu
melenyapkan “Kenapa?” dengan hanya sekali tarikan pada tuasnya, meskipun kenapa
itu ada jauh di dimensi kenapa yang dikenapakan.