Sudah jam 11 malam dan hanya
lampu di rumah Anwar yang masih saja menyala. Suara kucing-kucing kampung yang
tadinya sesekali terdengar ganas karena saling berebut makanan, kini lenyap
diredam oleh suara perempuan yang cukup keras. “Yang kita butuh itu duit Bang,
buat makan, buat biaya bersalin, buat beli kelambu sama keperluan lain. Bukan
buah pikiran yang cuma jadi tumpukan kertas, bikin rumah makin sempit. Kurang
cukup kamu melihat aku terlantar satu tahun gara-gara tulisanmu itu, apa kamu
mau terlantarkan aku lagi?”, ucap Lastri sambil memegangi perutnya yang sudah
sangat membesar.
Anwar duduk termangu di depan
meja yang penuh dengan tumpukan kertas, tatapan matanya sangat kosong. “Aku
tahu itu yang kamu sukai, tapi kan bukan cuma itu yang kamu bisa, apa salahnya
kamu cari kerjaan lain Bang. Karena semenjak waktu itu, sudah tidak ada lagi satu
pun penerbit yang mau bikin kertas-kertasmu itu jadi duit. Kamu juga pasti
paham bagaimana gentingnya situasi sekarang Bang”, lanjut Lastri yang unek-unek
di dalam kepalanya seakan tidak ada habisnya.
Tarikan nafas yang sangat
dalam pun terdengar dari kedua lubang hidung Anwar, lalu dia bangun dari
kursinya, “Aku keluar sebentar” ucap Anwar sambil berjalan ke luar rumah. “Mau
bicara sama bintang-bintang? atau mau pinjam uang sama rembulan malam?” potong
Lastri yang semakin kesal. “Aku mau cari angin” jawab Anwar yang terus berjalan
ke luar tanpa menoleh sedikitpun pada Lastri. “Angin dicari, harus berapa kali
aku bilang, yang kita butuh itu duit Bang, bukan angin”, sahut Lastri dengan
intonasi yang semakin meninggi.
Malam semakin dingin, semakin
sepi, tapi semakin ramai juga truk patroli tentara yang lalu-lalang di tengah
kampung. Suara ban-ban besarnya terdengar sangat garang dan gagah melindasi
kerikil-kerikil jalan yang berantakan. Ada sedikit rasa khawatir di hati Lastri
yang sebenarnya belum bisa tidur karena kepalanya masih dihantui banyak pikiran,
juga suaminya yang pergi keluar rumah di jam malam.
Lastri semakin gusar dan tidak
karuan setelah 3 hari suaminya tak kunjung pulang. Sebagai perempuan yang
sedang hamil besar, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mencari Anwar. Semua
tetangga terdekatnya termasuk Mak Ijah, seorang janda yang suaminya gugur dalam
perang beberapa belas tahun yang lalu, meminta Lastri untuk mengikhlaskan
suaminya. Mereka semua yakin bahwa Anwar diangkut oleh truk patroli tentara
karena keluyuran di jam malam.
“Tapi Mak, Bang Anwar itu
bukan pemberontak, dia sama sekali tidak ada kaitannya sama urusan politik.
Semua tulisannya itu cuma tulisan fiksi. Kalaupun dulu dia pernah dibui
gara-gara cerita novelnya tapi itu karena dulu tulisannya dipublish”, isak
tangis membuat Lastri terbata-bata dalam berbicara. Lastri menangis tersedu-sedu
di pundak Mak Ijah sambil memegangi perutnya yang sudah menunggu hitungan hari
untuk mengeluarkan jabang bayi.
Sepanjang hari Lastri lebih
banyak menghabiskan waktu dengan duduk merenung di beranda rumah, menunggu
Anwar pulang. Sebuah penantian dan harapan besar tergambar jelas di wajahnya yang
semakin hari semakin pucat. Dulu Lastri memang pernah merasakan hal yang sama
selama satu tahun lamanya, tapi kali ini Lastri harus merasakannya berdua
bersama calon buah hatinya yang bahkan belum bisa kemana-mana.
Pada sebuah sore di hari
ketujuh sejak perginya Anwar, datang lah 5 orang pria yang masih muda-muda
dengan atribut angkatan bersenjata menyatroni Lastri. “Selamat sore, apa ini
rumah Anwar Muzaid?”, tanya satu orang yang mukanya terlihat paling garang. Tergesa-gesa
dan dengan perasaan yang sangat tidak karuan Lastri bangun dari kursinya, “iya
betul, saya isterinya, di mana suami saya pak?”. “Masuk, geledah semuanya, bawa
semua barang bukti yang ada di dalam!”, tegas memberi instruksi pada
rekan-rekannya tanpa menjawab pertanyaan Lastri. “Pak suami saya di mana pak?
Tolong pak anaknya sudah mau lahir, di mana suami saya pak?”, Lastri begitu
histeris. “Diam kamu, kamu juga ikut”, bentak seorang yang mukanya paling
garang itu.
Lastri yang perutnya sudah
sangat besar pun dipaksa berjalan cepat melintasi lorong sel tahanan pria
menuju sel tahanan wanita. “Lastri… Lastri…”, teriak seseorang dari dalam
sebuah sel pria. Lastri pun menoleh dan kaget, “Bang Anwar…” sambil berusaha
meraih tangan Anwar yang keluar melalui celah-celah jeruji besi. Namun petugas
yang menuntun Lastri begitu tegap dan gagah sehingga Lastri pun dipaksa untuk
terus berjalan melewati Anwar. “Elan, Lastri, namanya Elan…” sambil terus
berteriak dan menangis Anwar menggoyah-goyahkankan jeruji besi sekuat
tenaganya. Lastri yang sudah sangat berusaha menahan laju langkahnya pun terus
diseret oleh petugas hingga jeritan dan tangisan histeris keduanya pun tak lagi
padu, harus terpisah oleh tikungan lorong.